Kata lain dari "pengangguran" adalah
tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak
orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau
merasa telah gagal dalam mencari kerja. Sementara itu pada zaman nenek
moyang kita, kata pengangguran belum begitu lazim atau tidak dikenal
sama sekali, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan
yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak,
bertukang , berdagang atau sebagai buruh. Pekerjaan diwariskan dari
orang tua turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari,
dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.
Pada masa itu, dalam suasana masyaraskat tradisionil,seperti yang telah
diungkapkan- generasi tua peduli terhadap kelangsungan kerja generasi
muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk
mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia
boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti
bahwa aktivitas on job training - atau magang- sudah berjalan dan malah
telah mengangkar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum
wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita
dengan memperi peran- peran sosial sebagai kaum wanita, calon ibu dan
calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan
merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai-
nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan
turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi
pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak..
Sejak dulu sampai sekarang nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat
dijunjung tinggi. Banyak orang tua berlomba untuk mendorong anak- anak
mereka untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Tentu saja ini adalah
terobosan positive dalam mendidik keluarga. Sebelumnya orang berlomba
dalam hal kekayaan berdasarkan berapa jumlah emas, jumlah rumah, jumlah
sawah sampai kepada berapa jumlah kerbau yang mereka miliki. Namun
setelah kepedulian terhadap pendidikan menjadi suatu fenomena maka
masyarakat akan merasa bangga bila dalam keluarga banyak anak- anak yang
menjadi sarjana.
Agar anak bisa menjadi sarjana maka setiap harus sekolah setinggi
mungkin- akademi atau univeritas. Bila nilai (indeks prestasi) juga
tinggi maka lowongan kerja tentu sudah menunggu. Oleh karena itu
masyarakat memandang sekolah yang tinggi sebagai investasi untuk
mengangkat martabat dan nama baik keluarga. Kemudian terbentuklah
beberapa bentuk karakter masyarakat dalam mempersiapkan kualitas
keluarga atau kualitas anak.
Ada orangtua yang mendukung agar anak bergiat dan rajin dalam belajar,
namun mereka juga harus menyisihkan waktu untuk mengurus kebersihan dan
kerapian rumah. Dan juga cukup banyak orangtua yang mendorong anak- anak
mereka untuk rajin belajar dan membebaskan mereka untuk merawat rumah
(?). Maka ini merupakan sebuah sikap naif orang tua dalam mendidik dan
menumbuhkan sikap dan nilai anak dalam memiliki rasa tanggung jawab.
Fenomena seperti ini amat banyak terjadi dalam masyarakat.
Agar anak menjadi pintar di sekolah maka orang tua yang rendah wawasan
ilmu mendidiknya hanya akan menyuruh anak untuk belajar (menghafal dan
menghafal pelajaran) semata- mata. Orang tua kemudian kurang melibatkan
anak dalam kegiatan membantu orang tua. Konsep seperti ini tampak
memanjakan atau konsep salah didik sejak anak kecil sampai remaja.
Kebutuhan diri anak pun, seperti makan, minum dan kerapian berpakaian ,
serba dibantu atau dilayani oleh orang tua itu sendiri. Prilaku mendidik
keluarga seperti ini terjadi pada berbagai lapisan ekonomi dalam
masyarakat. Termasuk keluarga petani, sebagai contoh.
Ada keluarga petani atau keluarga pedagang, asal anak bisa jadi juara di
kelas (di sekolah) maka mereka tidak ikut serta untuk turun kesawah
membawa cangkul, atau turun ke gudang untuk merapikan barang- barang,
karena itu bukalah pekerjaan seorang anak sekolah. Kerja anak sekolah
hanya cukup memegang pulpen saja untuk menulis. Ungkapan- ungkapan
seperrti ini ternyata sudah menjadi fenomena dalam banyak keluarga.
Ungkapan seperti ini sangat berkesan dalam memori anak. Sehingga anak-
anak yang berdomisili di daerah agraris cukup banyak yang menjadi gengsi
atau inferior complex (minder atau rendah diri) untuk melakukan
pekerjaan yang mereka anggap sebagai kerja kasar seperti yang
dilakukan oleh kakek, paman. Ayah, tetangga dan paman mereka. Maka
inilah awal nya mengapa nilai life skill (kecakapan hidup) tercabut dari
lingkungan keluarga atau budaya anak.
Banyak orang dari dahulu sampai sekarang bahwa sekolah adalah pabrik
untuk membuat orang bisa jadi cerdas dan kemudian pintar mencari kerja.
Mereka memandang kerja sebagai petani, buruh, tukang, dan lain- kain,
bukanlah sduatu pekerjaan. Kalau tamat sekolah bisa bekerja di kantor
atau di perusahaan maka itu baru dianggap mempunyai pekerjaan.
Pada mulanya banyak orang lebih menyukai bekerja di sektor swasta dan
BUMN dengan gaji besar dari pada menjadi PNS yang gajinya pas-pasan.
Namun setelah pintu kerja di sektor swasta dan BUMN menjadi lebih sempit
maka orang lari menyerbu pintu jadi PNS, karena disana ada jaminab
hidup di hari tua. Sekarang pintu kerja PNS pula lagi yang menjadi
sempit. Ini tentu saja membuat banyak sarjana menjadi bingung dan putus
asa dan mereka jatuh jadi pengangguran.
Kini pengangguran sudah menjadi suatu fenomena yang meresahkan
pemerintah, masyarakat dan orang tua. Karena anak- anak yang tumbuh
menjadi remaja dan dewasa, setelah tamat dari sekolah yang paling
tertinggi hanya pintar menjadi pengangguran. Dan ini adalah menjadi
citra buruk bagi dunia pendidikan. Lembaga ini telah dimaki- maki karena
hanya pintar menciptakan orang menjadi buruh, jadi PNS dan sekarang
menjadi pengangguran tingkat tinggi.
Setelah itu banyak orang berteori. Ada yang berpendapat bahwa penyebab
timbulnya pengangguran adalah karena perguruan tinggi tidak membekali
mahasiswa dengan muatan atau mata pelajaran wiraswasta. Kalau pun ada
mata pelajaran wiraswasta maka tentu ia hanya bersifat atau memperkaya
teori (sebagai kognitif saja). Pada hal berwiraswasta bukan masalah
teori atau kognitif semata, melainkan ia hanya bersifat nilai sikap
(afektif), tanggung jawab dan nilai keterampilan (Psikomorik) yang harus
sudah tumbuh dalam budaya keluarga sejak anak berusia kecil. Namun
dalam kenyataan sikap berwiraswasta sudah dibonsai dan dibabat habis
oleh karakter orangtua yang hanya mendorong anak untuk belajar dan
menghafal. Nasmun jarang atau tidak mendukung anak untuk berparisipasi
dalam mengurus rumah dan membantu pekerjaan orang tua.
Penduduk Indonesia keturunan Tionghoa agaknya tidak pernah mengajarkan
anak - anak mereka bermimpi untuk menjadi PNS. Mereka pun tidak bermimpi
untuk menjadi oetani, karena mereka tidak punya tanah ulayat- tanah
warisan nenek moyang turun temurun. Mereka pun punya anak dan mereka
sadar bahwa anak mereka kelak harus hidup, makan, berketurunan dan juga
menjadi orang. Mereka juga berfikir bagaimana agar anak- anak mereka
juga bisa exist dalam hidup. Untuk itu jalan satu- satunya adalah
mewarisi mereka sikap berwiraswasta dan suka bekerja keras. Menjadi
pedagang adalah salah satu profesi yang mereka warisi buat anak- anak.
Maka sejak kecil, sebagai contoh, anak- anak diberi meja kecil yang di
atasnya tersusun deretan botol permen dan kue yang harus dijual. Pada
mulanya bukan untuk menjari untung tetapi untuk menamkan pada anak
bagaimana indahnya punya ilmu berdagang atau berwiraswasta. Sebaliknya
hal yang kontra terjadi pada orang Indonesia yang mengaku sebagai
penduduk pribumi, yang dikarunia oleh Tuhan dengan harta pusaka dan
tanah ulayat- ada yang luas namun tidak terurus. Namun yang ditanamkan
pada jiwa anak- anak adalah sikap untuk jangan menyinsing lengan baju-
tidak usah memegang cangkul atau menginjak lumpur. Fenomena ini seolah-
olah membisikan pada telinga bathin anak bahwa kerja itu adalah kerja
hina. Kerja yang mulia adalah bejerja di pabrik, di gedung, di
kantor,jadi PNS, jadi tentara atau polisi agar bisa memakai pakasian
gagar dan jadi pembela keluarga (Pada hal yang aslinya jabatan ini
adalah untuk membela bangsa dan negara). Maka dari kecil kerja anak
cukup belajar dan belajar dan cari nilai yang tinggi di sekolah, mungkin
ini awal mengapa orang bersekolah hanya ingin mengejar selembar ijasah,
bisa jadi prilaku ini ditumbuhkan dalam keluarga. Namun aneh kalau
kemudian sekolah dituding sebagai penyebab. Tetapi sekolah dan banyak
orang tidak perlu mencari pembelaan karena lebih baik saling
mensewasakan diri.
Kini kita tahu bahwa menanam budaya yang salah itu sudah terjadi dan
terbentuk sejak dulu, sejak anak- anak kecil , yang sudah melahirkan
jutaan orang yang bermimpi menjadi PNS atau sekarang melahirkan
pengangguran. Sekali lagi bahwa tidak perlu saling menyalahkan dan
saling menuding. Yang lebih penting kini adalah bagaimana setiap orang
bisa mewarisi dan mengajarkan semangat atau etos suka bekerja keras dan
belajar sungguh sungguh, menjadi cerdas, bukan mengajar mereka untuk
mengejar selembar ijazah lewat cara mencontek dan menipu diri. Juga
penting untuk mewarisi anak mental untuk bisa hidup untuk suka bekerja
sungguh- sungguh dan belajar mandiri, membuang jauh- jauh sikap senang
bersantai dan suka terlalu memanjakan diri. Alam Indonesia ini begitu
subuh dan begitu luas, sayang kualitas nya belum memadai dan kalau ada
yang punya SDM, populasinya juga menumpuk di suatu tempat. Bukan kah SDM
terlalu menumpuk di pulau Jawa, di kota besar atau lari ke tempat lain.
Tanggung jawab kita, orangtua, adalah untuk tidak lagi menyingkirkan
anak anak agar tidak beraktivitas di rumah, melibatkan diri dalam
pekerjaan membantu orang tua, namun mewarisi mereka semangat kerja
sungguh- sungguh dan belajar mandiri. Namun kita, orangtua sendiri juga
harus menjadi model bagi mereka terlebih dahulu. Tidak lagi zaman bagi
orang kita hanya sebagai penyuruh dan sebagai pengatur tanpa memberi
model bagi keluarga.
Kini adalah sangat bijaksana- sekali lagi- kalau orang tua sudi
melibatkan anak anak dengan pekerjaan rumah, mengajarkan anak bagaimana
hidup terjadwal atau berdisiplin (menghargai waktu) dalam bekerja dan
belajar. Tentu adalah perlu untuk menyediakan anak dengan sarana
hiburan, namun tidak memanjakan mereka dengan hiburan melulu sepanjang
hari. Hiburan yang berlebihan akan membentukkarakter yang santai , dan
tentu sangat bijaksana bila orang tua dengan sarana belajar, kalau perlu
setiap rumah mempunyai perpustakaan keluarga untuk membudayakan gemar
belajar. Juga sangat tepat bila orangtua membekali generasi muda
kepintaran berganda (pintar berbahasa, berhitung, bergaul, beribadah,
menguasai suasana hati, dan lain-lain), kemudian juga mewarisi mereka
semangat bekerja dan belajar bersungguh- sungguh, wawasan dan pergaulan
yang luas. Inilah salah satu strategi yang tepat diambil oleh orangtua
untuk mengatasi pengangguran anak- anak mereka bila mereka dewasa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar